Memori Sebelas Tahun Lalu

Sebelas tahun yang lalu, saat aku duduk di kelas 4 SD. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Sekolah Luar Biasa, sekolah khusus untuk penyandang disabilitas. Mungkin banyak kaum awam kurang mengenal istilah kata disabilitas. Kata serapan yang berasal dari Bahasa Inggris, dis yang berarti tidak dan ability yang berarti mampu. Jika digabungkan disability yaitu ketidakmampuan. Kata disabilitas lebih ramah terdengar di telinga dibandingkan kata penyandang cacat. Hhm, aku rasa kalian juga akan berpikir demikian.

Sebelas tahun yang lalu, aku bersama siswa dari sekolah dasar lainnya di Kota Jambi diberi waktu tiga hari untuk mempelajari tarian yang nantinya akan dilombakan yaitu Tari Zapin dan Tari Sekapur Sirih. Aku bersama tiga orang temanku mewakili sekolah untuk ikut serta.

Sekolah ini dulunya berada di tepi Danau Sipin (sekarang sudah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Jambi). Sekarang sekolah yang baru terletak tidak terlalu jauh dari sekolah yang lama. Pertama kali memasuki sekolah ini, memang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Ruang kelasnya tidak sebesar ruang kelas sekolahku karena menampung jumlah siswa yang berbeda juga. Di sekolah ini juga ada ruang hasil kerajinan tangan siswa. Aku tak menyangka, mereka dapat membuat berbagai barang kerajinan tangan yang apik nan cantik. Memang segala sesuatu itu memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Aku bersama beberapa orang teman sempat berkeliling, tetapi aku tidak terlalu ingat karena sudah sebelas tahun berlalu. Memoriku sedikit melupakan hal itu. Namun, ada satu hal yang aku ingat sampai sekarang.

Aku bersama siswa lainnya berlatih di aula yang sangat besar. Bahkan bisa 2-3 kali ruang kelas di sekolahku. Saat hari pertama, aku mendapat tempat di barisan terakhir. Di sebelahku, ada seorang gadis. Rambutnya sebahu, wajahnya cantik. Aku mengenalnya sebagai siswa SLB dari seragam olahraga yang ia kenakan. Ia tersenyum padaku, aku pun membalas senyumnya.

Saat istirahat, aku menghampirinya dan mengajak berkenalan bersama teman-temanku.

“Hai,” sapaku. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.

Ia kemudian memakai bahasa isyarat, dari situlah aku baru tahu kalau dia ternyata seorang tuna rungu. Sepertinya ia sangat senang aku dan teman-temanku mau berkenalan dengannya. Hari pertama hanya berlangsung sampai di situ.

Hari selanjutnya, aku dengan sengaja membawa Majalah Bobo ke sana. Selain karena istirahat yang lama, pulang dari latihan juga akan terasa lama menunggu jemputan, jadi aku putuskan untuk membawa majalah kesayanganku itu. Saat istirahat, aku langsung membaca majalah tersebut. Tak lupa aku mengajak teman-temanku untuk ikut membaca. Saat itu aku melihatnya sedang sendirian, aku ajak saja dia ikut serta. Ternyata dia suka dengan gambar-gambar di Majalah Bobo itu. Aku senang bisa membuat wajahnya kelihatan bahagia. Ada sesuatu yang ku rasa berbeda hari itu, bisa berbagi kebahagiaan meski hanya lewat sebuah bacaan.

Hari ketiga, aku lumayan bingung untuk berkomunikasi dengannya. Ternyata bukan hanya aku saja. Kak Happy dan Zela juga demikian, karena kami tak mengerti bahasa isyarat. Di hari terakhir itu kami akhirnya melakukan sesuatu yang tak kami rencanakan sebelumnya. Kalian tahu apa? Aku bersama Kak Happy dan Zela serta Icha (aku lupa apakah Icha juga ikut) mengumpulkan uang jajan kami. Uang yang terkumpul sekitar delapan ribu rupiah, nominal yang cukup banyak untuk ukuran anak SD sebelas tahun yang lalu.

Setelah selesai latihan, aku bersama Kak Happy naik ke teras atas, Zela memanggil sahabat difabel kami itu untuk ikut naik ke teras atas. Aku mengeluarkan pena dan menulis di halaman terakhir bukuku.

Hai, namaku Ade Agustina Fahria. Boleh tidak aku berkenalan denganmu?

Dia kemudian menulis

Boleh

Selanjutnya Kak Happy dan Zela yang masing-masing menuliskan namanya di halaman buku tersebut. Dan dia juga menuliskan namanya. Tapi, aku lupa. Namanya Santi, Sinta atau Sita. Atau mungkin juga tidak ketiganya.

Akhirnya, kami saling kenal. Seingatku saat itu ia duduk di kelas 5 SD, berarti seusia Kak Happy.  Lalu aku, Kak Happy dan Zela memberikan uang yang kami kumpulkan kepadanya. Dia menerimanya dengan sangat senang. Perasaan bahagia tampak terpancar dari wajahnya. Sebenarnya, aku memberikan ini bukan tanpa alasan. Aku pernah berbincang dengan ibunya, ternyata rumahnya jauh sekali dari sekolah ini, ia dan ibunya pergi dan pulang sekolah naik angkot. Seingatku rumahnya di daerah Kenali, perlu dua kali naik angkot untuk mencapai sekolah tersebut. Setelah itu kami turun sambil tertawa bersama.

Sungguh pengalaman yang sangat berharga bagiku. Walaupun pada akhirnya aku tak sempat mengikuti lomba tari itu, perkenalan dengan teman disabilitasku adalah suatu hal yang sangat berharga. Terlebih bisa berbagi kebahagiaan dengan mereka. Sekarang, aku tak tahu ia berada dimana. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Semoga kamu baik-baik saja teman, aku akan selalu mengingatmu, meski memori otak ini sedikit luntur dengan memori baru yang hadir. :)